A.Pengertian
Chirrosis hepatis adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses peradangan, nekrosis sel hati yang luas, pembentukn jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati hati akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut.
Tipe Chirrosis Hepatis
Ada tiga tipe chirrosis atau pembentukan parut dalam hati :
1.Chirrosis portal Laennec (alkoholik, nutrisional ) dimana jaringan parut secara khas mengelilingi daerah portal. Sirosis ini paling sering disebaban oleh alcoholisme kronis.
2.Chirrosis pasca nekrotik, terdapat pita jaringan parut yang lebar sebagai tindak lanjut dari hepatitis virus akut sebelumnya
3.Chirrosis bilier, dimana pembentukan jaringan parut terjadi dalam hati sekitar saluran empedu. Tipe ini biasanya terjadi akibat obstruksi bilier yang kronis dan infeksi (kolangitis) ; insidensinya paling rendah
B.Patofisiologi
Infeksi hepatitis viral tipe B/C menyebabkan peradangan hati. Peradangan ini menyebabkan nekrosis meliputi daerah yang luas (hepatoseluler), terjadi kolaps lobulus hati dan ini memacu timbulnya jaringan parut disertai terbentuknya septa fibrosa difus dan nodul sel hati. Walaupun etiologi beda, gambaran histologis sama atau hampir sama. Serta bisa dibentuk dari sel retikulum penyangga yang kolaps dan berubah jadi parut. Beberapa sel tumbuh kembali dan membentuk nodul dengan berbagai ukuran dan ini menyebabkan distorsi percabangan pembuluh hepatic dan gangguan aliran darah porta dan menimbulkan hipertnsi portal. Tahap berikutnya terjadi peradangan dan nekrosis pada sel duktules, sinusoid, retikulo endotel, terjadi fibrogenesis dan septa aktif. Jaringan kolagen berubah fari reversible menjadi irreversible bila telah terbentuk septa permanen yang aselular pada daerah porta dan parenkim hati.
C.Etiologi
1.Hepatitis virus tipe B dan C
2.Alkohol
3.Metabolik (hemokromatosis idiopatik, penyakit Wilson, defisiensi alpha 1 anti tripsin, galaktosemia, tirosinemia congenital, DM , penyakit penimbunan kolagen)
4.Kolestasisi kronik/sirosis bilier sekunder intra dan ekstra hepatic
5.Obstruksi aliran vena hepatic (Peny.vena oklusif, Sindrom Budd Chiari, Perikarditis konstriktiva, Payah jantung kanan)
6.Gangguan imunologis
7.Toksik dan obat ( MTX, INH, Metildopa)
8.Operasi pintasusus halus pada obesitas
9.Malnutrisi
10.Idiopatik
D.Tanda dan Gejala
Kriteria Soebandiri , bila terdapat 5 dari 7 :
1.Spider nevi
2.Venectasi/ vena kolateral
3.Ascites (dengan atau tanpa edema kaki)
4.Spelomegali
5.Varices esophagus (hemel)
6.Ratio albumin : globulin terbalik
7.Palmar eritema
Manifestasi klinis berdasarkan :
1.Kompensata (belum mempengauhi fungsi hepar)
§Demam intermitten
§Spider nevi
§Palmar eritema
§Epistaksis
§Edema kaki
§Dispepsia
§Nyeri abdomen
§Hepatosplenomegali
2.Dekompensata
§Ascites
§Jaundice
§Kelemahan fisik
§Kehilangan BB
§Epistaksis
§Hipotensi
§Atropi gonadal
Klasifikasi CHILD
Derajat kerusakan Minimal Sedang Berat
Bil serum (mg%) <2,0>3
Alb.serum (mg%) >3,5 3,0-3,5 <3,0
Ascites - Mudah dikontrol Sulit dikontrol
Enselopati - Minimal Berat/koma
Nutrisi Sempurna Baik Kurang/kurus
Protrombin >70% 40-70% <40%
Grade (CHILD) Nilai Prognosis
A5 - 6 10 – 15%
B7 – 9 30%
C10 - 15 >60%
Tingkatan Enselopati Hati
Tingkat Derajat Astereksi/Flapping EEG Status mental
IProdormal Ringan Normal Bingung, perub.jiwa&kelakuan,eforia,depresi,bicara lambat,terputus,tidak rapi
II Impending/koma Mudah dirangsang Abn >berat dr tk.I,mengantuk,TL tdk wajar
III Stupor Dijumpai jika kooperatif Abn (flat) Mengantuk terus/msh bisa dibangunkan
IV Koma dangkal/dalam Absen Abn (flat) Bisa/tidak bisa respon stimuli,hipereksi,hiperventilasi
E. Pemeriksaan Penunjang
§ Biopsi Hati
§ Darah rutin : Hb rendah, anemia normokromik normositer, hipokrom mikrositer ,hipokrom makrositer.
§ Kolesterol darah yang selalu rendah prognosis kurang baik
§ Kenaikan kadar enzim transaminase (SGOT/SGPT). Kenaikan diakibatkan kebocoran dari sel yang mengalami kerusakan. Pada sirosis inaktif tidak meningkat
§ Albumin menurun
§ Pemeriksaan CHE (kolinesterase) turun. Bila terjadi kenaikan berati terjadi perbaikan
§ Pemeriksaan kadar elektrolit penting untuk penggunaan diuretic dan pembatasan garam. Dalam enselopati kadar NA < 4 mEq/l menunjukkan terjadi sindrom hepatorenal
§ Masa Protrombin memanjang
§ Kadar gula darah meningkat karena kurangnya kemampuan hati membentuk glikogen
§ Marker serologi pertanda virus ; HbsAg/HbsAb, HbeAg/HbeAb, HBV DNA, HCV RNA.
§ Pemeriksaan AFP (alfa feto protein) menentukan apakah ada keganasan. AFP > 500 – 1000 menunjukkan suatu kanker hati primer.
§ Radiologi : barium swallow untuk melihat adanya varises esofagus.
§ Esofagoskopi : melihat varises esofagus berupa adanya cherry red spot, red whale marking, diffus redness. Kemungkinan perdarahan
§ USG
§ Sidikan hati : radionukleid IV
§ Tomografi komputer
§ E R C P : untuk menyingkirkan adanya obstruksi ekstrahepatik
§ Angiografi
§ Punksi ascites : pemeriksaan mikroskopis, kultur cairan, kadar protein, amilase dan lipase.
F.Penatalaksanaan
Berdasarkan gejala yang ada.
§ Kompensata baik : kontrol, istirahat, diet TKTP, lemak secukupnya,
§ Penyebab diketahui : atasi atau hentikan penyebab
§ Atasi komplikasi ; ascites diberikan diet rendah garam 0,5 g/hari, total cairan 1,5 l/hr, diuretic
§ Dengan perdarahan : resusitasi, lavase air es, hemostatik, antasid/antagonisB2, sterilisasai usus, klisma tinggi, skleroterapi, ligasi endokospik varises
§ Pencegahan pecahnya varises esofagus : farmakoterapi, ligasi varises.
G.Garis besar penatalaksanaan keperawatan pada pasien dengan hematemesis melena
§ Hentikan/cegah perdarahan berulang
§ Mengeliminasi produk darah
§ Stabilkan hemodinamik
§ Menurunkan kecemasan
§ Fasilitasi bedrest selama fase pemulihan
§ Tingkatkan asupan nutrisi
§ Perawatan kulit
§ Hentikan/cegah perdarahan berulang
§ Mengeliminasi produk darah
§ Stabilkan hemodinamik
§ Menurunkan kecemasan
§ Fasilitasi bedrest selama fase pemulihan
§ Tingkatkan asupan nutrisi
§ Perawatan kulit
§ Cegah infeksi
Sabtu, 19 Juni 2010
Atrial Septal Defect (ASD)
Atrial Septal Defect (ASD) adalah terdapatnya hubungan antara atrium kanan dengan atrium kiri yang tidak ditutup oleh katup ( Markum. 1991)
ASD adalah defek pada sekat yang memisahkan atrium kiri dan kanan. (Sudigdo Sastroasmoro, Kardiologi Anak. 1994)
Kelainan ini dibedakan dalam 3 bentuk anatomis, yaitu
1.Defek Sinus Venosus Defek ini terletak di bagian superior dan posterior sekat, sangat dekat dengan vena kava superior. Juga dekat dengan salah satu muara vena pulmonalis.
2.Defek Sekat Sekundum Defek ini terletak di tengah sekat atrium. Defek ini juga terletak pada foramen ovale.
3.Defek Sekat Primum Defek ini terletak dibagian bawah sekat primum, dibagian bawah hanya di batasi oleh sekat ventrikel, dan terjadi karena gagal pertumbuhan sekat primum. Defek sekat primum dikenal dengan ASD I, Defek sinus Venosus dan defek sekat sekundum dikenal dengan ASD II
Anatomi Dan Fisiologi
Aliran pirau kiri ke kanan melewati defect septum atrium mengakibatkan kelebihan beban volume pada atrium kanan ventrikel kana dan sirkulasi pulmonal. Volume pirau dapat dihitung dari curah jantung dan jumlah peningkatan saturasi O2 pada atrium kanan pada stadium awal tekanan dalam sisi kanan jantung tidak meningkatkan dengan berlalunya waktu dapat terjadi perubahan vascular pulmonal. Arah aliran yang melewati pirau dapat terjadi pada hipertensi pulmonal berat.
Etiologi Atrial Septal Defect (ASD)
Penyakit dari penyakit jantung kongentinal ASD ini belum dapat dipastikan banyak kasus mungkin terjadi akibat aksi trotogen yang tidak diketahui dalam trisemester pertama kehamilan saat terjadi perkembangan jantung janin. Sebagian besar cacat jantung konggentinal tidak diwariskan kita kenal dalam embriologi jantung bahwa cidera atau zat yang menimbulkan cacat melakukan kerusakan dalam waktu 5-8 minggu. Pertama kehidupan status, saat struktur kardiovaskuler terbentuk kecuali duktus arteriosis paten yaitu saluran normal untuk status yang harus menututp dalam beberapa hari pertama.
Patofisiologi Atrial Septal Defect (ASD)
Darah artenal dari atrium kiri dapat masuk ke atrium kanan melalui defek sekat ini. Aliran ini tidak deras karena perbedaan tekanan pada atrium kiri dan kanan tidak begitu besar (tekanan pada atrium kiri 6 mmHg sedang pada atrium kanan 5 mmHg)
Adanya aliran darah menyebabkan penambahan beben pada ventrikel kanan, arteri pulmonalis, kapiler paru-paru dan atrium kiri. Bila shunt besar, maka volume darah yang melalui arteri pulmonalis dapat 3-5 kali dari darah yang melalui aorta.
Dengan bertambahnya volume aliran darah pada ventrikel kanan dan arteri pulmonalis. Maka tekanan pada alat–alat tersebut naik., dengan adanya kenaikan tekanan, maka tahanan katup arteri pulmonalis naik, sehingga adanya perbedaan tekanan sekitar 15 -25 mmHg. Akibat adanya perbedaan tekanan ini, timbul suatu bising sistolik ( jadi bising sistolik pada ASD merupakan bising dari stenosis relative katup pulmonal ).
Juga pad valvula trikuspidalis ada perbedaan tekanan, sehingga disini juga terjadistenosis relative katup trikuspidalis sehingga terdengar bising diastolic.
Karena adanya penambahan beban yang terus menerus pada arteri pulmonalis, maka lama kelamaan akan terjadi kenaikan tahanan pada arteri pulmunalis dan akibatnya akan terjadi kenaikan tekanan ventrikel kanan yang permanen. Tapi kejadian ini pada ASD terjadinya sangat lambat ASD I sebagian sama dengan ASD II. Hanya bila ada defek pada katup mitral atau katup trikuspidal, sehingga darah dari ventrikel kiri atau ventrikel kanan mengalir kembali ke atrium kiri dan atrium kanan pada waktu systole. Keadaan ini tidak pernah terjadi pada ASD II.
Prognosis Atrial Septal Defect (ASD)
Biasanya ASD dapat ditoleransi dengan baik pada bayi maupun pada anak. Hanya kadang – kadang pada ASD dengan shunt yang besar menimbulkan gejala – gejala gagal jantung, dan pada keadaan ini perlu dibantu dengan digitalis. Kalau dengan digitalis tidak berhasil perlu dioperasi, untuk ASD dengan shunt yang besar, operasi segera dipikirkan, guna mencegah terjadinya hipertensi pulmonal. Hipertensi pulmonal pada ASD jarang sekali terjadi pada anak. Umur harapan penderita ASD sangat tergantung pada besarnya shunt. Bila shunt kecil dan tekanan darah pada ventrikel kanan normal operasi tedak perlu dilakukan. Pada defek sekat atrium primum lebih sering terjadi gagal jantung dari pada ASD II. Gagal jantung biasanya terjadi pada umum kurang dari 5 tahun. Endokarditis Infektif Sub akut lebih sering terjadi pada ASD I, sedang terjadinya hipertensi pulmonal hampir sama dengan ASD II.
Manifestasi Klinis Atrial Septal Defect (ASD)
1.Adanya Dispnea
2.Kecenderungan infeksi pada jalan nafas
3.Palpitasi
4.Kardiomegali
5.atrium dan ventrikel kanan membesar
6.Diastolik meningkat
7.Sistolik Rendah
Pemeriksaan Penunjang Atrial Septal Defect (ASD)
1.Foto Ronsen Dada Pada defek kecil gambaran foto dada masih dalam batas normal. Bila defek bermakna mungkin tampak kardiomegali akibat pembesaran jantung kanan. Pembesaran ventrikel ini lebih nyata terlihat pada foto lateral.
2.Elektrokardiografi Pada ASD I, gambaran EKG sangat karakterstik dan patognomis, yaitu sumbu jantung frontal selalu kekiri. Sedangkan pada ASD II jarang sekali dengan sumbu Frontal kekiri.
3.Katerisasi Jantung Katerisasi jantung dilakukan defek intra pad ekodiograf tidak jelas terlihat atau bila terdapat hipertensi pulmonal pada katerisasi jantung terdapat peningkatan saturasi O2 di atrium kanan dengan peningkatan ringan tekanan ventrikel kanan dan kiri bil terjadi penyakit vaskuler paru tekanan arteri pulmonalis, sangat meningkat sehingga perlu dilakukan tes dengan pemberian O2 100% untuk menilai resensibilitas vasakuler paru pada Syndrome ersen menger saturasi O2 di atrium kiri menurun.
4.Eko kardiogram Ekokardiogram memperlihatkan dilatasi ventrikel kanan dan septum interventrikular yang bergerak paradoks. Ekokardiogrfi dua dimensi dapat memperlihatkan lokasi dan besarnya defect interatrial pandangan subsifoid yang paling terpercaya prolaps katup netral dan regurgitasi sering tampak pada defect septum atrium yang besar.
5.Radiologi Tanda – tanda penting pad foto radiologi thoraks ialah:
•Corak pembuluh darah bertambah
•Ventrikel kanan dan atrium kanan membesar
•Batang arteri pulmonalis membesar sehingga pada hilus tampak denyutan ( pada fluoroskopi) dan disebut sebagai hilam dance.
Komplikasi Atrial Septal Defect (ASD)
Hipertensi Pulmonal
Gagal Jantung
Penatalaksanaan Atrial Septal Defect (ASD)
Operasi harus segera dilakukan bila:
•Jantung sangat membesar
•Dyspnoe d’effort yang berat atau sering ada serangan bronchitis.
•Kenaikan tekanan pada arteri pulmonalis.
Bila pada anak masih dapat dikelola dengan digitalis, biasanya operasi ditunggu sampai anak mencapai umur sekitar 3 tahun.
•Opersi pada ASD I tanpa masalah katup mitral atau trikuspidal mortalitasnya rendah, operasi dilakukan pada masa bayi.
•ASD I disertai celah katup mitral dan trikuspidal operasi paling baik dilakukan umur antara 3-4 tahun.
•Apabila ditemukan tanda – tanda hipertensi pulmonal, operasi dapat dilakukan pada masa bayi untuk mencgah terjadinya penyakit vaskuler pulmonal.
•Terapi dengan digoksin, furosemid dengan atau tanpa sipironolakton dengan pemantauan elektrolit berkala masih merupakan terapi standar gagal jantung pada bayi dan anak.
1.Lakukan pengkajian fisik dengan penekanan khusus pada warna, nadi (apical dan perifer). Pernapasan, tekanan darah, serta pemeriksaan dan auskultasi dada.
2.Dapatkan riwayat kesehatan termasuk bukti penambahan berat badan yang buruk, makan buruk, intoleransi aktivitas, postur tubuh tidak umum, atau infeksi saluran pernapasan yang sering.
3.Observasi anak terhadap manifestasi penyakit jantung congenital.
Bayi:
ØSianosis umum, khususnya membrane mukosa, bibir dan lidah, konjungtiva, area vaskularisasi tinggi.
ØDispnea, khususnya setelah kerja pfisik seperti makan, menangis, mengejan.
ØKeletihan
ØPertumbuhan dan perkembangan buruk (gagal tumbuh)
ØSerimg mengalami infeksi saluran pernafasan
ØKesulitan makan
ØHipotania
ØKeringat berlebihan
ØSerangan sinkop seperti Hiperpnea Paroksismal. Serangan anoksia.
Anak yang lebih besar :
ØKerusakan pertumbuhan
ØPembangunan tubuh lemah , sulit
ØKeletihan
ØDispnea pad aktivitas
ØOrtopnea
ØJari tubuh
ØBerjongkok untuk menghilangkan diispnea.
ØSakit kepala
ØEpistaksis
ØKeletihan kaki.
Diagnosa Keperawatan
•Risiko tinggi penurunan curah jantung
•Perubahan pertumbuhan dan perkembangan
•Perubahan proses keluarga
•Risiko tinggi cidera (komplikasi)
ASD adalah defek pada sekat yang memisahkan atrium kiri dan kanan. (Sudigdo Sastroasmoro, Kardiologi Anak. 1994)
Kelainan ini dibedakan dalam 3 bentuk anatomis, yaitu
1.Defek Sinus Venosus Defek ini terletak di bagian superior dan posterior sekat, sangat dekat dengan vena kava superior. Juga dekat dengan salah satu muara vena pulmonalis.
2.Defek Sekat Sekundum Defek ini terletak di tengah sekat atrium. Defek ini juga terletak pada foramen ovale.
3.Defek Sekat Primum Defek ini terletak dibagian bawah sekat primum, dibagian bawah hanya di batasi oleh sekat ventrikel, dan terjadi karena gagal pertumbuhan sekat primum. Defek sekat primum dikenal dengan ASD I, Defek sinus Venosus dan defek sekat sekundum dikenal dengan ASD II
Anatomi Dan Fisiologi
Aliran pirau kiri ke kanan melewati defect septum atrium mengakibatkan kelebihan beban volume pada atrium kanan ventrikel kana dan sirkulasi pulmonal. Volume pirau dapat dihitung dari curah jantung dan jumlah peningkatan saturasi O2 pada atrium kanan pada stadium awal tekanan dalam sisi kanan jantung tidak meningkatkan dengan berlalunya waktu dapat terjadi perubahan vascular pulmonal. Arah aliran yang melewati pirau dapat terjadi pada hipertensi pulmonal berat.
Etiologi Atrial Septal Defect (ASD)
Penyakit dari penyakit jantung kongentinal ASD ini belum dapat dipastikan banyak kasus mungkin terjadi akibat aksi trotogen yang tidak diketahui dalam trisemester pertama kehamilan saat terjadi perkembangan jantung janin. Sebagian besar cacat jantung konggentinal tidak diwariskan kita kenal dalam embriologi jantung bahwa cidera atau zat yang menimbulkan cacat melakukan kerusakan dalam waktu 5-8 minggu. Pertama kehidupan status, saat struktur kardiovaskuler terbentuk kecuali duktus arteriosis paten yaitu saluran normal untuk status yang harus menututp dalam beberapa hari pertama.
Patofisiologi Atrial Septal Defect (ASD)
Darah artenal dari atrium kiri dapat masuk ke atrium kanan melalui defek sekat ini. Aliran ini tidak deras karena perbedaan tekanan pada atrium kiri dan kanan tidak begitu besar (tekanan pada atrium kiri 6 mmHg sedang pada atrium kanan 5 mmHg)
Adanya aliran darah menyebabkan penambahan beben pada ventrikel kanan, arteri pulmonalis, kapiler paru-paru dan atrium kiri. Bila shunt besar, maka volume darah yang melalui arteri pulmonalis dapat 3-5 kali dari darah yang melalui aorta.
Dengan bertambahnya volume aliran darah pada ventrikel kanan dan arteri pulmonalis. Maka tekanan pada alat–alat tersebut naik., dengan adanya kenaikan tekanan, maka tahanan katup arteri pulmonalis naik, sehingga adanya perbedaan tekanan sekitar 15 -25 mmHg. Akibat adanya perbedaan tekanan ini, timbul suatu bising sistolik ( jadi bising sistolik pada ASD merupakan bising dari stenosis relative katup pulmonal ).
Juga pad valvula trikuspidalis ada perbedaan tekanan, sehingga disini juga terjadistenosis relative katup trikuspidalis sehingga terdengar bising diastolic.
Karena adanya penambahan beban yang terus menerus pada arteri pulmonalis, maka lama kelamaan akan terjadi kenaikan tahanan pada arteri pulmunalis dan akibatnya akan terjadi kenaikan tekanan ventrikel kanan yang permanen. Tapi kejadian ini pada ASD terjadinya sangat lambat ASD I sebagian sama dengan ASD II. Hanya bila ada defek pada katup mitral atau katup trikuspidal, sehingga darah dari ventrikel kiri atau ventrikel kanan mengalir kembali ke atrium kiri dan atrium kanan pada waktu systole. Keadaan ini tidak pernah terjadi pada ASD II.
Prognosis Atrial Septal Defect (ASD)
Biasanya ASD dapat ditoleransi dengan baik pada bayi maupun pada anak. Hanya kadang – kadang pada ASD dengan shunt yang besar menimbulkan gejala – gejala gagal jantung, dan pada keadaan ini perlu dibantu dengan digitalis. Kalau dengan digitalis tidak berhasil perlu dioperasi, untuk ASD dengan shunt yang besar, operasi segera dipikirkan, guna mencegah terjadinya hipertensi pulmonal. Hipertensi pulmonal pada ASD jarang sekali terjadi pada anak. Umur harapan penderita ASD sangat tergantung pada besarnya shunt. Bila shunt kecil dan tekanan darah pada ventrikel kanan normal operasi tedak perlu dilakukan. Pada defek sekat atrium primum lebih sering terjadi gagal jantung dari pada ASD II. Gagal jantung biasanya terjadi pada umum kurang dari 5 tahun. Endokarditis Infektif Sub akut lebih sering terjadi pada ASD I, sedang terjadinya hipertensi pulmonal hampir sama dengan ASD II.
Manifestasi Klinis Atrial Septal Defect (ASD)
1.Adanya Dispnea
2.Kecenderungan infeksi pada jalan nafas
3.Palpitasi
4.Kardiomegali
5.atrium dan ventrikel kanan membesar
6.Diastolik meningkat
7.Sistolik Rendah
Pemeriksaan Penunjang Atrial Septal Defect (ASD)
1.Foto Ronsen Dada Pada defek kecil gambaran foto dada masih dalam batas normal. Bila defek bermakna mungkin tampak kardiomegali akibat pembesaran jantung kanan. Pembesaran ventrikel ini lebih nyata terlihat pada foto lateral.
2.Elektrokardiografi Pada ASD I, gambaran EKG sangat karakterstik dan patognomis, yaitu sumbu jantung frontal selalu kekiri. Sedangkan pada ASD II jarang sekali dengan sumbu Frontal kekiri.
3.Katerisasi Jantung Katerisasi jantung dilakukan defek intra pad ekodiograf tidak jelas terlihat atau bila terdapat hipertensi pulmonal pada katerisasi jantung terdapat peningkatan saturasi O2 di atrium kanan dengan peningkatan ringan tekanan ventrikel kanan dan kiri bil terjadi penyakit vaskuler paru tekanan arteri pulmonalis, sangat meningkat sehingga perlu dilakukan tes dengan pemberian O2 100% untuk menilai resensibilitas vasakuler paru pada Syndrome ersen menger saturasi O2 di atrium kiri menurun.
4.Eko kardiogram Ekokardiogram memperlihatkan dilatasi ventrikel kanan dan septum interventrikular yang bergerak paradoks. Ekokardiogrfi dua dimensi dapat memperlihatkan lokasi dan besarnya defect interatrial pandangan subsifoid yang paling terpercaya prolaps katup netral dan regurgitasi sering tampak pada defect septum atrium yang besar.
5.Radiologi Tanda – tanda penting pad foto radiologi thoraks ialah:
•Corak pembuluh darah bertambah
•Ventrikel kanan dan atrium kanan membesar
•Batang arteri pulmonalis membesar sehingga pada hilus tampak denyutan ( pada fluoroskopi) dan disebut sebagai hilam dance.
Komplikasi Atrial Septal Defect (ASD)
Hipertensi Pulmonal
Gagal Jantung
Penatalaksanaan Atrial Septal Defect (ASD)
Operasi harus segera dilakukan bila:
•Jantung sangat membesar
•Dyspnoe d’effort yang berat atau sering ada serangan bronchitis.
•Kenaikan tekanan pada arteri pulmonalis.
Bila pada anak masih dapat dikelola dengan digitalis, biasanya operasi ditunggu sampai anak mencapai umur sekitar 3 tahun.
•Opersi pada ASD I tanpa masalah katup mitral atau trikuspidal mortalitasnya rendah, operasi dilakukan pada masa bayi.
•ASD I disertai celah katup mitral dan trikuspidal operasi paling baik dilakukan umur antara 3-4 tahun.
•Apabila ditemukan tanda – tanda hipertensi pulmonal, operasi dapat dilakukan pada masa bayi untuk mencgah terjadinya penyakit vaskuler pulmonal.
•Terapi dengan digoksin, furosemid dengan atau tanpa sipironolakton dengan pemantauan elektrolit berkala masih merupakan terapi standar gagal jantung pada bayi dan anak.
Asuhan Keperawatan Pasien Dengan Atrial Septal Defect (ASD)
Pengkajian1.Lakukan pengkajian fisik dengan penekanan khusus pada warna, nadi (apical dan perifer). Pernapasan, tekanan darah, serta pemeriksaan dan auskultasi dada.
2.Dapatkan riwayat kesehatan termasuk bukti penambahan berat badan yang buruk, makan buruk, intoleransi aktivitas, postur tubuh tidak umum, atau infeksi saluran pernapasan yang sering.
3.Observasi anak terhadap manifestasi penyakit jantung congenital.
Bayi:
ØSianosis umum, khususnya membrane mukosa, bibir dan lidah, konjungtiva, area vaskularisasi tinggi.
ØDispnea, khususnya setelah kerja pfisik seperti makan, menangis, mengejan.
ØKeletihan
ØPertumbuhan dan perkembangan buruk (gagal tumbuh)
ØSerimg mengalami infeksi saluran pernafasan
ØKesulitan makan
ØHipotania
ØKeringat berlebihan
ØSerangan sinkop seperti Hiperpnea Paroksismal. Serangan anoksia.
Anak yang lebih besar :
ØKerusakan pertumbuhan
ØPembangunan tubuh lemah , sulit
ØKeletihan
ØDispnea pad aktivitas
ØOrtopnea
ØJari tubuh
ØBerjongkok untuk menghilangkan diispnea.
ØSakit kepala
ØEpistaksis
ØKeletihan kaki.
Diagnosa Keperawatan
•Risiko tinggi penurunan curah jantung
•Perubahan pertumbuhan dan perkembangan
•Perubahan proses keluarga
•Risiko tinggi cidera (komplikasi)
AIDS PADA IBU HAMIL / KEHAMILAN
Infeksi pada kehamilan adalah penyebab morbiditas ibu dan neonatal yang sudah diketahui. Banyak kasus dapat dicegah, dan dalam makalah ini akan dibahas mengenai penyakit infeksi yang sering ditemukan yang dapat terjadi dalam kehamilan.
1. Human Immunodeficiency (HIV) dan Acquired Immuno Defficiency Syndrome (AIDS)
Penyebaran HIV, terjadi terutama melalui pertukaran cairan tubuh (darah, semen, peristiwa- peristiwa perinatal) ( friedland, klein, 1987; Hecht, 1987; Landesman et al, 1987). Penurunan system kekebalan selular yang parah meprupakan cirri dari AIDS. Walaupun populasi yang berisiko tinggi telah didokumentasikan dengan baik. Seluruh wanita sebaiknya diperiksa terhadap kemungkinan HIV. Infeksi HIV pada wanita biasanya dilaporkan pada saat penyakit tersebut sudah berada pada tingkat tinggi, dan biasanya mereka masuk rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan awal padahal penyakit itu sudah semakin parah. Penundaan mungkin disebabkan karena terjadiya gejala yang berbeda- beda pada setiap orang ( Shaw, 1986 ). Vaginitis dan candidiasis kronis biasanya mendatangkan masalah.
Ketika HIV masuk ke tubuh, terjadi konversi serum terhadap kepositifan HIV dalam 10 minggu pertama (beberapa sumber mencatat masa inkubasi yang lama, walaupun masa inkubasi yang memanjang biasanya merupakan pengecualian). Walaupun konversi serum mungkin seluruhnya tanpa gejala, namun biasanya diiringi oleh respon influenza viremik yang mengawali infeksi HIV. Gejala-gejala seperti demam, tidak enak badan, myalgia, mual, diare, radang tenggorokan, dan ruam dapat terjadi selama 2 atau 3 minggu.
Pemeriksaan laboratorium mungkin menyatakan leucopenia, thrombocytopenia, anemia dan tingkat sedimentasi eritrosit yang tinggi. Lagi pula, HIV mempunyai afinitas yang kuat pada protein suface maker pada limposit T. Afinitas HIV pada limposit T ini membawa pada pengrusakan sel T yang penting.
Penundaan diagnosis harus dihindari ketika wanita sedang hamil. Kehamilan tidak mendorong status HIV positif; konsultasi prekonsepsional sangat dianjurkan. Masuknya virus ini mempunyai pengaruh kuat terhadap kehamilan dan metode pemberian makan bayi dan terhadap keadaan kesehatan bayi (Klug, 1986). Diperkirakan bahwa HIV dari wanita yang terinfeksi ditularkan ke janin dan bayi melalui tiga cara (Fredland,. Klein, 1987, Landesman et al, 1987):
Terhadap janin seawal trimester pertama melalui sirkulasi maternal.
Terhadap bayi selama proses kelahiran melalui inokulasi atau ingestion darah ibu dan cairan yang terinfeksi lainnya.
Terhadap bayi melalui ASI.
Frekuensi dalam transmisi utero, intrapartum dan postpartum tidak tentu. Angka penularan paling rendah 10% dan paling tinggi 70%, angka yang paling sering dilaporkan adalah 30%. Bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang positif terinfeksi menanggung resiko AIDS lebih tinggi daripada bayi-bayi yang lahir dari ibu yang negative serum dan yang kemudian menunnjukkan konversi serum.
Tanpa memperhatikan apakah infeksi terdiagnosa, proses perawatan dilakukan berdasarkan kebiasaan manusia dan budayanya.”Infeksi HIV merupakan suatu peristiwa biologis, bukan suatu komentar moral penting untuk diingat, untuk contoh, dan untuk mengajarkan bahwa reaksi (pribadi) terhadap gaya hidup, praktek-praktek atau perilaku khusus tidak boleh mempengaruhi kemampuan perawat untuk memberikan perawatan kesehatan yang efektif, obyektif dan melas asih untuk semua penderita” (Keeling, 1987).
2. Periode-periode penjangkitan HIV pada ibu hamil
a. Periode PRENATAL
Timbulnya HIV pada wanita hamil diperkirakan meningkat (Minkoff, 1987). Sejarah kesehatan, uji fisik dan tes laboratorium harus merefleksikan pengharapan ini jika wanita dan bayinya menerima perawatan yang tepat. Para wanita yang termasuk dalam kategori beresiko tinggi terhadap infeksi HIV mencakup:
1)Wanita dan atau pasangannya yang berasal dari wilayah geografis dimana HIV merupakan sesuatu yang umum.
2)Wanita dan atau pasangannya yang menggunakan obat-obatan yang disuntikkan melalui pembuluh darah.
3)Wanita yang menderita STD tetap dan kambuhan.
4)Wanita yang menerima tranfusi darah dari pengidap HIV.
5)Wanita yang yakin bahwa dirinya mungkin terjangkit HIV.
Tes HIV sebaiknya ditawarkan kepada wanita beresiko tinggi pada awal mereka memasuki perawatan prenatal. Namun, soronegativitas pada uji prenatal pertama bukan jaminan untuk titer negative yang berlangsung. Misalnya, seorang wanita berusia 24 tahun yang mendapatkan perawatan prenatal selama 8 minggu mempunyai hasil tes western blot yang negative. Namun, setelah terinveksi HIV, serum antibody membutuhkan waktu sampai 12 minggu untuk berkembang. Tes western blot harus diulangi dalam 1 atau 2 bulan dan pada trimester ketiga.
Tes prenatal rutin dapat membantu mengidentifikasi wanita yang terinfeksi HIV (Foster, 1987; Kaplan et al, 1987; Minkoff, 1987; Rhoads et al, 1987). Tes ini juga dapat mengungkap Gonhorhea, Siphilis, Herpes yang tetap dan menjadi lebih lama, C.Trakomatis, Hepatic B, Micobacterium tuberculosis, Candidiasis (oropharingeal atau infeksi Vagian Chronic), Cytomegalo Virus (CMV), dan Toxophlasmosis. Sekitar separuh penderita AIDS mengalami peningkatan titer CMV. Karena masuknya penyakit CMV memiliki bahaya yang serius terhadap janin, para wanita hamil dianjurkan dengan yang terinfeksi HIV.
Sejarah vaksinasi dan kekebalan telah didokumentasikan. Titer untuk cacar dan rubella ditentukan dan tes kulit tuberkulosa (Derivasi protein yang dimurnikan/puriviet protein derivatif (PPD)) telah dilakukan vaksinasi sebelumnya dengan vaksin rekonbivak Hb dicatat karena vaksin tersebut berisi produk darah manusia (Vaksin ini sekarang bebas dari darah manusia dan produk-produk darah).
Wanita dapat menjadi calon yang menerima Rho D Imunoglobulin. Penjangkitan HIV belum ditemukan adanya vaksin Rh. Proses persiapan melibatkan alcohol ethyl yang membuat virus tidak aktif. Vaksin ini dibuat dari darah yang diambil dari kelompok donor regular yang tidak dikenali. Darah yang digunakan untuk memproduksi vaksin menjalani tes darah yang dapat mendeteksi darah adanya HIV (Francis, Chin, 1987, MMWR, 1987).
Beberapa ketidaknyamanan yang dihadapi pada masa prenatal (seperti kelelahan, anoreksia, dan penurunan berat badan) menyiratkan tanda-tanda dan gejal-gejala infeksi HIV. Diagnosa yang berbeda-beda terhadap seluruh keluhan dan gejala infeksi yang disebabkan kehamilan dibenarkan. Tanda-tanda utama infeksi HIV yang semakin memburuk mencakup turunnya berat badan lebih dari 10% dari berat badab sebelum kehamilan, diare kronis lebih dari 1bulan dan demam (kambuhan atau konstan) selama lebih dari 1 bulan.
Untuk mendukung system wanita hamil, konsultasi yang tepat disediakan mengetahui nutrisi yang optimal = tidur, istiraht, latihan, dan reduksi stress. Jika infeksi HIV telah didiagnosa, wanita tersebut diberitahukan mengenai konsekuensi yang mungkin terjadi pada bayi. Wanita tersebut didukung keputusannya. Haruskah dia meneruskan kehamilannya, ia bias berkonsultasi mengenai teknik “Seks yang lebih aman”. Menggunakan kondom dan nonoxsinol 9 spermicide dianjurkan untuk memperkecil penjangkitan HIV yang lebih jauh jika pasangannya yang menjadi sumber. Seks urogenital dilarang. Jika perlu, siwanita diarahkan untuk menjalani rehabilitasi obat untuk menghalangi substance abose, alcohol,methamethamine(Kecepatan, engkol,es), mariyuana, kokain, nitrit(poper, amyl) atau obat-obat lainnya yang membahayakan system kekebalan dan meningkatkan resiko AIDS dan kondisi yang menyertainya :
1)HIV menyebabkan hadirnya system kekebalan tubuh yang sudah rusak sebelum virus tersebut dapat menyebabkan penyakit
2)alcohol dan obat-obatan diikutsertakan dalam banyak terapi medis dan alternative untuk pengobatan AIDS.
3)alcohol dan obat-obatan mempengaruhi penilaian terhadap pemakai yang mungkin menjadi lebih mudah terlibat dalam kegiatan yang menempatkan orang dalam resiko tinggi terhadap AIDS atau meningkatkan timbulnya HIV
4)alcohol dan obat-obatan dapat menyebabakan stress, termasuk masalah-masalah tidur, yang membahayakan fungsi sistam kekebalan.
Perawatan secara farmsi terhadap inveksi HIV telah maju sedemikian pesatnya semenjak ditemukannya virus tersebut. Obat utama yang digunakan untuk pengobatan infeksi adalah 3” azido -3” deoxythimidine(zidozodine, AZT, retrovir). Walaupun pengobatan ini cukup menjanjikan untuk pengobatan inveksi HIV, penggunaan terhadap wanita hamil tetap dibatasi. Racun yang potensial atau efek mutagenic pada janin tidak diketahui. Azidotimidhine sedang diuji pada beberapa penelitian terhadap para wanita hamil yang memiliki jumlah sel pembantu T kurang dari 400 sel/mm3. Infeksi lain yang menyertai HIV diobati dengan perawatan khusus.
b.PERIODE INTRAPARTUM. Perawatan wanita yang sakit saat melahirkan tadak diubah secara substansial untuk infeksi tanpa gejala dengan HIV (Minkoff,1987). Cara kelahiran didasarkan hanya pada pertimbangan obstetric karena virus melalui plasenta pada awal kehamilan.
Fokus utama pencegahn penyebaran HIV nosocomial (Infeksi yang terjadi selam opname) dan perlindungan terhadap pelaku perawatan. Rwsiko penjangkitan HIV dianggap rendah selama kelahiaran vaginal meskipun terbuka karena darah wanita yang terinveksi, cairan amniotic dan sekresi vaginal.
EPM (Elektrinic Fetal Monitoring) eksternal dilakukan jika EPM diperlukan. Terdapat kemungkinan inokulasi virus ke dalam neonate jika pengambilan sempel darah jangat kepala bayi dilakukan atau jika elektroda jangat kepala bayi diterapkan. Disamping itu, seseorang yang melakukan prosedur ini berada pada resiko melekatnya darah tersebut pada jari secara tidak sengaja.
c.PERIODE POSTPARTUM.
Hanya sedikit yang diketahui tentang tindakan klinis selama periode postpartum yang dapat dilakukan pada wanita yang terinfeksi HIV. Walaupun periode postpartum pertengahan tercatat signifikan (update, 1987), tindak lanjut yang lebih lama telah mengumgkap frekuensi penyakit kilinis yang tinggi pada ibu-ibu yang anaknya menderita penyakit (Skott, 1985; Minkoff et al, 1987; a,b)
Bayi yang baru lahir dapat bersama-sama dengan ibunya, namun pemberian ASI merupakan kontra indikasi. Tindakan pencegahan universal dilakukan terhadap ibu dan bayi, seperti yang dilakukan terhadap semua pasien. Wanita dan bayinya diarahkan pada dokter yang berpengalamn dalam pengobatan AIDS dan keadaan-keadaan yang menyertainya.
Pengaruh infeksi pada bayi dan neonatal mungkin tidak jelas. Karena virus yang melalui plasenta, darah di talio pusat akan menunjukkan antibody HIV baik apabila bayi terinfeksi ataupun tidak. Selama itu antibody yang melalui palang plasenta mungkin tidak terdapat pada bayi yang tidak terinfeksi sampai usia 15 bulan. Karena itu sebelum sampai sebelum waktu tersebut infeksi HIV pada bayi tidak dapat ditentukan. Ketika infeksi HIV menjadi aktif banyak infeksi sampingan yang biasa ada pada orang dewasa terjadi pada bayi.
Bayi-bayi yang terinfeksi HIV lebih dari 90% tersebut mengalami perkembangan dan neurologist. Komplikasi lain yang menyertai infeksi HIV pada bayi mencakup Enchephalopati, Microchephalli, Defisit Kognitif, system saraf pusat (CNS/central nervous system) Lhympoma, Cerebro Vaskuler Accident, gagal pernapasan dan Lhympaclenophaty.
a. Riwayat Penyakit
Jenis infeksi sering memberikan petunjuk pertama karena sifat kelainan imun. Umur kronologis pasien juga mempengaruhi imunokompetens. Respon imun sangat tertekan pada orang yang sangat muda karena belum berkembangnya kelenjar timus. Pada lansia, atropi kelenjar timus dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Banyak penyakit kronik yang berhubungan dengan melemahnya fungsi imun. Diabetes meilitus, anemia aplastik, kanker adalah beberapa penyakit yang kronis, keberadaan penyakit seperti ini harus dianggap sebagai factor penunjang saat mengkaji status imunokompetens pasien. Berikut bentuk kelainan hospes dan penyakit serta terapi yang berhubungan dengan kelainan hospes :
- Kerusakan respon imun seluler (Limfosit T )
Terapi radiasi,defisiensi nutrisi,penuaan,aplasia timik,limpoma,kortikosteroid,globulin anti limfosit,disfungsi timik congenital.
- Kerusakan imunitas humoral (Antibodi)
Limfositik leukemia kronis,mieloma,hipogamaglobulemia congenital,protein – liosing enteropati (peradangan usus)
b. Pemeriksaan Fisik (Objektif) dan Keluhan (Sujektif)
- Aktifitas / Istirahat
Gejala : Mudah lelah,intoleran activity,progresi malaise,perubahan pola tidur.
Tanda : Kelemahan otot, menurunnya massa otot, respon fisiologi aktifitas ( Perubahan TD, frekuensi Jantun dan pernafasan ).
- Sirkulasi
Gejala : Penyembuhan yang lambat (anemia), perdarahan lama pada cedera.
Tanda : Perubahan TD postural,menurunnya volume nadi perifer, pucat / sianosis, perpanjangan pengisian kapiler.
- Integritas dan Ego
Gejala : Stress berhubungan dengan kehilangan,mengkuatirkan penampilan, mengingkari doagnosa, putus asa,dan sebagainya.
Tanda : Mengingkari,cemas,depresi,takut,menarik diri, marah.
- Eliminasi
Gejala : Diare intermitten, terus – menerus, sering dengan atau tanpa kram abdominal, nyeri panggul, rasa terbakar saat miksi
Tanda : Feces encer dengan atau tanpa mucus atau darah, diare pekat dan sering, nyeri tekan abdominal, lesi atau abses rectal,perianal,perubahan jumlah,warna,dan karakteristik urine.
- Makanan / Cairan
Gejala : Anoreksia, mual muntah, disfagia
Tanda : Turgor kulit buruk, lesi rongga mulut, kesehatan gigi dan gusi yang buruk, edema
- Hygiene
Gejala : Tidak dapat menyelesaikan AKS
Tanda : Penampilan tidak rapi, kurang perawatan diri.
- Neurosensoro
Gejala : Pusing, sakit kepala, perubahan status mental,kerusakan status indera,kelemahan otot,tremor,perubahan penglihatan.
Tanda : Perubahan status mental, ide paranoid, ansietas, refleks tidak normal,tremor,kejang,hemiparesis,kejang.
- Nyeri / Kenyamanan
Gejala : Nyeri umum / local, rasa terbakar, sakit kepala,nyeri dada pleuritis.
Tanda : Bengkak sendi, nyeri kelenjar,nyeri tekan,penurunan rentan gerak,pincang.
- Pernafasan
Gejala : ISK sering atau menetap, napas pendek progresif, batuk, sesak pada dada.
Tanda : Takipnea, distress pernapasan, perubahan bunyi napas, adanya sputum.
- Keamanan
Gejala : Riwayat jatuh, terbakar,pingsan,luka,transfuse darah,penyakit defisiensi imun, demam berulang,berkeringat malam.
Tanda : Perubahan integritas kulit,luka perianal / abses, timbulnya nodul, pelebaran kelenjar limfe, menurunya kekuatan umum, tekanan umum.
-Seksualitas
Gejala : Riwayat berprilaku seks beresiko tinggi,menurunnya libido,penggunaan pil pencegah kehamilan.
Tanda : Kehamilan,herpes genetalia
- Interaksi Sosial
Gejala : Masalah yang ditimbulkan oleh diagnosis,isolasi,kesepian,adanya trauma AIDS
Tanda : Perubahan interaksi
- Penyuluhan / Pembelajaran
Gejala : Kegagalan dalam perawatan,prilaku seks beresiko tinggi,penyalahgunaan obat-obatan IV,merokok,alkoholik.
c. Pemeriksaan Diagnostik
a. Tes Laboratorium
Telah dikembangkan sejumlah tes diagnostic yang sebagian masih bersifat penelitian. Tes dan pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mendiagnosis Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan memantau perkembangan penyakit serta responnya terhadap terapi Human Immunodeficiency Virus (HIV)
1. Serologis
- Tes antibody serum
Skrining Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan ELISA. Hasil tes positif, tapi bukan merupakan diagnosa
- Tes blot western
Mengkonfirmasi diagnosa Human Immunodeficiency Virus (HIV)
- Sel T limfosit
Penurunan jumlah total
- Sel T4 helper
Indikator system imun (jumlah <200>
- T8 ( sel supresor sitopatik )
Rasio terbalik ( 2 : 1 ) atau lebih besar dari sel suppressor pada sel helper ( T8 ke T4 ) mengindikasikan supresi imun.
- P24 ( Protein pembungkus Human ImmunodeficiencyVirus (HIV ) )
Peningkatan nilai kuantitatif protein mengidentifikasi progresi infeksi
- Kadar Ig
Meningkat, terutama Ig A, Ig G, Ig M yang normal atau mendekati normal
- Reaksi rantai polimerase
Mendeteksi DNA virus dalam jumlah sedikit pada infeksi sel perifer monoseluler.
- Tes PHS
Pembungkus hepatitis B dan antibody, sifilis, CMV mungkin positif
2. Budaya
Histologis, pemeriksaan sitologis urine, darah, feces, cairan spina, luka, sputum, dan sekresi, untuk mengidentifikasi adanya infeksi : parasit, protozoa, jamur, bakteri, viral.
3. Neurologis
EEG, MRI, CT Scan otak, EMG (pemeriksaan saraf)
Tes Lainnya
Sinar X dada
Menyatakan perkembangan filtrasi interstisial dari PCP tahap lanjut atau adanya komplikasi lain
Tes Fungsi Pulmonal
Deteksi awal pneumonia interstisial
Skan Gallium
Ambilan difusi pulmonal terjadi pada PCP dan bentuk pneumonia lainnya.
Biopsis
Diagnosa lain dari sarcoma Kaposi
Brankoskopi / pencucian trakeobronkial
Dilakukan dengan biopsy pada waktu PCP ataupun dugaan kerusakan paru-paru
b. Tes Antibodi
Jika seseorang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka system imun akan bereaksi dengan memproduksi antibody terhadap virus tersebut. Antibody terbentuk dalam 3 – 12 minggu setelah infeksi, atau bisa sampai 6 – 12 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa orang yang terinfeksi awalnya tidak memperlihatkan hasil tes positif. Tapi antibody ternyata tidak efektif, kemampuan mendeteksi antibody Human Immunodeficiency Virus (HIV) dalam darah memungkinkan skrining produk darah dan memudahkan evaluasi diagnostic.
Pada tahun 1985 Food and Drug Administration (FDA) memberi lisensi tentang uji – kadar Human Immunodeficiency Virus (HIV) bagi semua pendonor darah atau plasma. Tes tersebut, yaitu :
1. Tes Enzym – Linked Immunosorbent Assay ( ELISA)
Mengidentifikasi antibody yang secara spesifik ditujukan kepada virus Human Immunodeficiency Virus (HIV). ELISA tidak menegakan diagnosa AIDS tapi hanya menunjukkan bahwa seseorang terinfeksi atau pernah terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). Orang yang dalam darahnya terdapat antibody Human Immunodeficiency Virus (HIV) disebut seropositif.
2. Western Blot Assay
Mengenali antibody Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan memastikan seropositifitas Human Immunodeficiency Virus (HIV)
3. Indirect Immunoflouresence
Pengganti pemeriksaan western blot untuk memastikan seropositifitas.
4. Radio Immuno Precipitation Assay ( RIPA )
Mendeteksi protein dari pada antibody.
c. Pelacakan Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Penentuan langsung ada dan aktivitasnya Human Immunodeficiency Virus (HIV) untuk melacak perjalanan penyakit dan responnya. Protein tersebut disebut protein virus p24, pemerikasaan p24 antigen capture assay sangat spesifik untuk HIV – 1. tapi kadar p24 pada penderita infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) sangat rendah, pasien dengantiter p24 punya kemungkinan lebih lanjut lebih besar dari menjadi AIDS.
Pemeriksaan ini digunakan dengan tes lainnya untuk mengevaluasi efek anti virus. Pemeriksaan kultur Human Immunodeficiency Virus (HIV) atau kultur plasma kuantitatif dan viremia plasma merupakan tes tambahan yang mengukur beban virus ( viral burden )
AIDS muncul setelah benteng pertahanan tubuh yaitu sistem kekebalan alamiah melawan bibit penyakit runtuh oleh virus HIV, dengan runtuhnya/hancurnya sel-sel limfosit T karena kekurangan sel T, maka penderita mudah sekali terserang infeksi dan kanker yang sederhana sekalipun, yang untuk orang normal tidak berarti. Jadi bukan AIDS nya sendiri yang menyebabkan kematian penderita, melainkan infeksi dan kanker yang dideritanya.
HIV biasanya ditularkan melalui hubungan seks dengan orang yang mengidap virus tersebut dan terdapat kontak langsung dengan darah atau produk darah dan cairan tubuh lainnya. Pada wanita virus mungkin masuk melalui luka atau lecet pada mulut rahim/vagina. Begitu pula virus memasuki aliran darah pria jika pada genitalnya ada luka/lecet. Hubungan seks melalui anus berisiko tinggi untuk terinfeksi, namun juga vaginal dan oral. HIV juga dapat ditularkan melalui kontak langsung darah dengan darah, seperti jarum suntik (pecandu obat narkotik suntikan), transfusi darah/produk darah dan ibu hamil ke bayinya saat melahirkan. Tidak ada bukti penularan melalui kontak sehari-hari seperti berjabat tangan, mencium, gelas bekas dipakai penderita, handuk atau melalui closet umum, karena virus ini sangat rapuh.
Masa inkubasi/masa laten sangat tergantung pada daya tahan tubuh masing-masing orang, rata-rata 5-10 tahun. Selama masa ini orang tidak memperlihatkan gejala-gejala, walaupun jumlah HIV semakin bertambah dan sel T4 semakin menururn. Semakin rendah jumlah sel T4, semakin rusak sistem kekebalan tubuh.
Pada waktu sistem kekebalan tubuh sudah dalam keadaan parah, seseorang yang mengidap HIV/AIDS akan mulai menampakkan gejala-gejala AIDS.
1. Human Immunodeficiency (HIV) dan Acquired Immuno Defficiency Syndrome (AIDS)
Penyebaran HIV, terjadi terutama melalui pertukaran cairan tubuh (darah, semen, peristiwa- peristiwa perinatal) ( friedland, klein, 1987; Hecht, 1987; Landesman et al, 1987). Penurunan system kekebalan selular yang parah meprupakan cirri dari AIDS. Walaupun populasi yang berisiko tinggi telah didokumentasikan dengan baik. Seluruh wanita sebaiknya diperiksa terhadap kemungkinan HIV. Infeksi HIV pada wanita biasanya dilaporkan pada saat penyakit tersebut sudah berada pada tingkat tinggi, dan biasanya mereka masuk rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan awal padahal penyakit itu sudah semakin parah. Penundaan mungkin disebabkan karena terjadiya gejala yang berbeda- beda pada setiap orang ( Shaw, 1986 ). Vaginitis dan candidiasis kronis biasanya mendatangkan masalah.
Ketika HIV masuk ke tubuh, terjadi konversi serum terhadap kepositifan HIV dalam 10 minggu pertama (beberapa sumber mencatat masa inkubasi yang lama, walaupun masa inkubasi yang memanjang biasanya merupakan pengecualian). Walaupun konversi serum mungkin seluruhnya tanpa gejala, namun biasanya diiringi oleh respon influenza viremik yang mengawali infeksi HIV. Gejala-gejala seperti demam, tidak enak badan, myalgia, mual, diare, radang tenggorokan, dan ruam dapat terjadi selama 2 atau 3 minggu.
Pemeriksaan laboratorium mungkin menyatakan leucopenia, thrombocytopenia, anemia dan tingkat sedimentasi eritrosit yang tinggi. Lagi pula, HIV mempunyai afinitas yang kuat pada protein suface maker pada limposit T. Afinitas HIV pada limposit T ini membawa pada pengrusakan sel T yang penting.
Penundaan diagnosis harus dihindari ketika wanita sedang hamil. Kehamilan tidak mendorong status HIV positif; konsultasi prekonsepsional sangat dianjurkan. Masuknya virus ini mempunyai pengaruh kuat terhadap kehamilan dan metode pemberian makan bayi dan terhadap keadaan kesehatan bayi (Klug, 1986). Diperkirakan bahwa HIV dari wanita yang terinfeksi ditularkan ke janin dan bayi melalui tiga cara (Fredland,. Klein, 1987, Landesman et al, 1987):
Terhadap janin seawal trimester pertama melalui sirkulasi maternal.
Terhadap bayi selama proses kelahiran melalui inokulasi atau ingestion darah ibu dan cairan yang terinfeksi lainnya.
Terhadap bayi melalui ASI.
Frekuensi dalam transmisi utero, intrapartum dan postpartum tidak tentu. Angka penularan paling rendah 10% dan paling tinggi 70%, angka yang paling sering dilaporkan adalah 30%. Bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang positif terinfeksi menanggung resiko AIDS lebih tinggi daripada bayi-bayi yang lahir dari ibu yang negative serum dan yang kemudian menunnjukkan konversi serum.
Tanpa memperhatikan apakah infeksi terdiagnosa, proses perawatan dilakukan berdasarkan kebiasaan manusia dan budayanya.”Infeksi HIV merupakan suatu peristiwa biologis, bukan suatu komentar moral penting untuk diingat, untuk contoh, dan untuk mengajarkan bahwa reaksi (pribadi) terhadap gaya hidup, praktek-praktek atau perilaku khusus tidak boleh mempengaruhi kemampuan perawat untuk memberikan perawatan kesehatan yang efektif, obyektif dan melas asih untuk semua penderita” (Keeling, 1987).
2. Periode-periode penjangkitan HIV pada ibu hamil
a. Periode PRENATAL
Timbulnya HIV pada wanita hamil diperkirakan meningkat (Minkoff, 1987). Sejarah kesehatan, uji fisik dan tes laboratorium harus merefleksikan pengharapan ini jika wanita dan bayinya menerima perawatan yang tepat. Para wanita yang termasuk dalam kategori beresiko tinggi terhadap infeksi HIV mencakup:
1)Wanita dan atau pasangannya yang berasal dari wilayah geografis dimana HIV merupakan sesuatu yang umum.
2)Wanita dan atau pasangannya yang menggunakan obat-obatan yang disuntikkan melalui pembuluh darah.
3)Wanita yang menderita STD tetap dan kambuhan.
4)Wanita yang menerima tranfusi darah dari pengidap HIV.
5)Wanita yang yakin bahwa dirinya mungkin terjangkit HIV.
Tes HIV sebaiknya ditawarkan kepada wanita beresiko tinggi pada awal mereka memasuki perawatan prenatal. Namun, soronegativitas pada uji prenatal pertama bukan jaminan untuk titer negative yang berlangsung. Misalnya, seorang wanita berusia 24 tahun yang mendapatkan perawatan prenatal selama 8 minggu mempunyai hasil tes western blot yang negative. Namun, setelah terinveksi HIV, serum antibody membutuhkan waktu sampai 12 minggu untuk berkembang. Tes western blot harus diulangi dalam 1 atau 2 bulan dan pada trimester ketiga.
Tes prenatal rutin dapat membantu mengidentifikasi wanita yang terinfeksi HIV (Foster, 1987; Kaplan et al, 1987; Minkoff, 1987; Rhoads et al, 1987). Tes ini juga dapat mengungkap Gonhorhea, Siphilis, Herpes yang tetap dan menjadi lebih lama, C.Trakomatis, Hepatic B, Micobacterium tuberculosis, Candidiasis (oropharingeal atau infeksi Vagian Chronic), Cytomegalo Virus (CMV), dan Toxophlasmosis. Sekitar separuh penderita AIDS mengalami peningkatan titer CMV. Karena masuknya penyakit CMV memiliki bahaya yang serius terhadap janin, para wanita hamil dianjurkan dengan yang terinfeksi HIV.
Sejarah vaksinasi dan kekebalan telah didokumentasikan. Titer untuk cacar dan rubella ditentukan dan tes kulit tuberkulosa (Derivasi protein yang dimurnikan/puriviet protein derivatif (PPD)) telah dilakukan vaksinasi sebelumnya dengan vaksin rekonbivak Hb dicatat karena vaksin tersebut berisi produk darah manusia (Vaksin ini sekarang bebas dari darah manusia dan produk-produk darah).
Wanita dapat menjadi calon yang menerima Rho D Imunoglobulin. Penjangkitan HIV belum ditemukan adanya vaksin Rh. Proses persiapan melibatkan alcohol ethyl yang membuat virus tidak aktif. Vaksin ini dibuat dari darah yang diambil dari kelompok donor regular yang tidak dikenali. Darah yang digunakan untuk memproduksi vaksin menjalani tes darah yang dapat mendeteksi darah adanya HIV (Francis, Chin, 1987, MMWR, 1987).
Beberapa ketidaknyamanan yang dihadapi pada masa prenatal (seperti kelelahan, anoreksia, dan penurunan berat badan) menyiratkan tanda-tanda dan gejal-gejala infeksi HIV. Diagnosa yang berbeda-beda terhadap seluruh keluhan dan gejala infeksi yang disebabkan kehamilan dibenarkan. Tanda-tanda utama infeksi HIV yang semakin memburuk mencakup turunnya berat badan lebih dari 10% dari berat badab sebelum kehamilan, diare kronis lebih dari 1bulan dan demam (kambuhan atau konstan) selama lebih dari 1 bulan.
Untuk mendukung system wanita hamil, konsultasi yang tepat disediakan mengetahui nutrisi yang optimal = tidur, istiraht, latihan, dan reduksi stress. Jika infeksi HIV telah didiagnosa, wanita tersebut diberitahukan mengenai konsekuensi yang mungkin terjadi pada bayi. Wanita tersebut didukung keputusannya. Haruskah dia meneruskan kehamilannya, ia bias berkonsultasi mengenai teknik “Seks yang lebih aman”. Menggunakan kondom dan nonoxsinol 9 spermicide dianjurkan untuk memperkecil penjangkitan HIV yang lebih jauh jika pasangannya yang menjadi sumber. Seks urogenital dilarang. Jika perlu, siwanita diarahkan untuk menjalani rehabilitasi obat untuk menghalangi substance abose, alcohol,methamethamine(Kecepatan, engkol,es), mariyuana, kokain, nitrit(poper, amyl) atau obat-obat lainnya yang membahayakan system kekebalan dan meningkatkan resiko AIDS dan kondisi yang menyertainya :
1)HIV menyebabkan hadirnya system kekebalan tubuh yang sudah rusak sebelum virus tersebut dapat menyebabkan penyakit
2)alcohol dan obat-obatan diikutsertakan dalam banyak terapi medis dan alternative untuk pengobatan AIDS.
3)alcohol dan obat-obatan mempengaruhi penilaian terhadap pemakai yang mungkin menjadi lebih mudah terlibat dalam kegiatan yang menempatkan orang dalam resiko tinggi terhadap AIDS atau meningkatkan timbulnya HIV
4)alcohol dan obat-obatan dapat menyebabakan stress, termasuk masalah-masalah tidur, yang membahayakan fungsi sistam kekebalan.
Perawatan secara farmsi terhadap inveksi HIV telah maju sedemikian pesatnya semenjak ditemukannya virus tersebut. Obat utama yang digunakan untuk pengobatan infeksi adalah 3” azido -3” deoxythimidine(zidozodine, AZT, retrovir). Walaupun pengobatan ini cukup menjanjikan untuk pengobatan inveksi HIV, penggunaan terhadap wanita hamil tetap dibatasi. Racun yang potensial atau efek mutagenic pada janin tidak diketahui. Azidotimidhine sedang diuji pada beberapa penelitian terhadap para wanita hamil yang memiliki jumlah sel pembantu T kurang dari 400 sel/mm3. Infeksi lain yang menyertai HIV diobati dengan perawatan khusus.
b.PERIODE INTRAPARTUM. Perawatan wanita yang sakit saat melahirkan tadak diubah secara substansial untuk infeksi tanpa gejala dengan HIV (Minkoff,1987). Cara kelahiran didasarkan hanya pada pertimbangan obstetric karena virus melalui plasenta pada awal kehamilan.
Fokus utama pencegahn penyebaran HIV nosocomial (Infeksi yang terjadi selam opname) dan perlindungan terhadap pelaku perawatan. Rwsiko penjangkitan HIV dianggap rendah selama kelahiaran vaginal meskipun terbuka karena darah wanita yang terinveksi, cairan amniotic dan sekresi vaginal.
EPM (Elektrinic Fetal Monitoring) eksternal dilakukan jika EPM diperlukan. Terdapat kemungkinan inokulasi virus ke dalam neonate jika pengambilan sempel darah jangat kepala bayi dilakukan atau jika elektroda jangat kepala bayi diterapkan. Disamping itu, seseorang yang melakukan prosedur ini berada pada resiko melekatnya darah tersebut pada jari secara tidak sengaja.
c.PERIODE POSTPARTUM.
Hanya sedikit yang diketahui tentang tindakan klinis selama periode postpartum yang dapat dilakukan pada wanita yang terinfeksi HIV. Walaupun periode postpartum pertengahan tercatat signifikan (update, 1987), tindak lanjut yang lebih lama telah mengumgkap frekuensi penyakit kilinis yang tinggi pada ibu-ibu yang anaknya menderita penyakit (Skott, 1985; Minkoff et al, 1987; a,b)
Bayi yang baru lahir dapat bersama-sama dengan ibunya, namun pemberian ASI merupakan kontra indikasi. Tindakan pencegahan universal dilakukan terhadap ibu dan bayi, seperti yang dilakukan terhadap semua pasien. Wanita dan bayinya diarahkan pada dokter yang berpengalamn dalam pengobatan AIDS dan keadaan-keadaan yang menyertainya.
Pengaruh infeksi pada bayi dan neonatal mungkin tidak jelas. Karena virus yang melalui plasenta, darah di talio pusat akan menunjukkan antibody HIV baik apabila bayi terinfeksi ataupun tidak. Selama itu antibody yang melalui palang plasenta mungkin tidak terdapat pada bayi yang tidak terinfeksi sampai usia 15 bulan. Karena itu sebelum sampai sebelum waktu tersebut infeksi HIV pada bayi tidak dapat ditentukan. Ketika infeksi HIV menjadi aktif banyak infeksi sampingan yang biasa ada pada orang dewasa terjadi pada bayi.
Bayi-bayi yang terinfeksi HIV lebih dari 90% tersebut mengalami perkembangan dan neurologist. Komplikasi lain yang menyertai infeksi HIV pada bayi mencakup Enchephalopati, Microchephalli, Defisit Kognitif, system saraf pusat (CNS/central nervous system) Lhympoma, Cerebro Vaskuler Accident, gagal pernapasan dan Lhympaclenophaty.
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajiana. Riwayat Penyakit
Jenis infeksi sering memberikan petunjuk pertama karena sifat kelainan imun. Umur kronologis pasien juga mempengaruhi imunokompetens. Respon imun sangat tertekan pada orang yang sangat muda karena belum berkembangnya kelenjar timus. Pada lansia, atropi kelenjar timus dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Banyak penyakit kronik yang berhubungan dengan melemahnya fungsi imun. Diabetes meilitus, anemia aplastik, kanker adalah beberapa penyakit yang kronis, keberadaan penyakit seperti ini harus dianggap sebagai factor penunjang saat mengkaji status imunokompetens pasien. Berikut bentuk kelainan hospes dan penyakit serta terapi yang berhubungan dengan kelainan hospes :
- Kerusakan respon imun seluler (Limfosit T )
Terapi radiasi,defisiensi nutrisi,penuaan,aplasia timik,limpoma,kortikosteroid,globulin anti limfosit,disfungsi timik congenital.
- Kerusakan imunitas humoral (Antibodi)
Limfositik leukemia kronis,mieloma,hipogamaglobulemia congenital,protein – liosing enteropati (peradangan usus)
b. Pemeriksaan Fisik (Objektif) dan Keluhan (Sujektif)
- Aktifitas / Istirahat
Gejala : Mudah lelah,intoleran activity,progresi malaise,perubahan pola tidur.
Tanda : Kelemahan otot, menurunnya massa otot, respon fisiologi aktifitas ( Perubahan TD, frekuensi Jantun dan pernafasan ).
- Sirkulasi
Gejala : Penyembuhan yang lambat (anemia), perdarahan lama pada cedera.
Tanda : Perubahan TD postural,menurunnya volume nadi perifer, pucat / sianosis, perpanjangan pengisian kapiler.
- Integritas dan Ego
Gejala : Stress berhubungan dengan kehilangan,mengkuatirkan penampilan, mengingkari doagnosa, putus asa,dan sebagainya.
Tanda : Mengingkari,cemas,depresi,takut,menarik diri, marah.
- Eliminasi
Gejala : Diare intermitten, terus – menerus, sering dengan atau tanpa kram abdominal, nyeri panggul, rasa terbakar saat miksi
Tanda : Feces encer dengan atau tanpa mucus atau darah, diare pekat dan sering, nyeri tekan abdominal, lesi atau abses rectal,perianal,perubahan jumlah,warna,dan karakteristik urine.
- Makanan / Cairan
Gejala : Anoreksia, mual muntah, disfagia
Tanda : Turgor kulit buruk, lesi rongga mulut, kesehatan gigi dan gusi yang buruk, edema
- Hygiene
Gejala : Tidak dapat menyelesaikan AKS
Tanda : Penampilan tidak rapi, kurang perawatan diri.
- Neurosensoro
Gejala : Pusing, sakit kepala, perubahan status mental,kerusakan status indera,kelemahan otot,tremor,perubahan penglihatan.
Tanda : Perubahan status mental, ide paranoid, ansietas, refleks tidak normal,tremor,kejang,hemiparesis,kejang.
- Nyeri / Kenyamanan
Gejala : Nyeri umum / local, rasa terbakar, sakit kepala,nyeri dada pleuritis.
Tanda : Bengkak sendi, nyeri kelenjar,nyeri tekan,penurunan rentan gerak,pincang.
- Pernafasan
Gejala : ISK sering atau menetap, napas pendek progresif, batuk, sesak pada dada.
Tanda : Takipnea, distress pernapasan, perubahan bunyi napas, adanya sputum.
- Keamanan
Gejala : Riwayat jatuh, terbakar,pingsan,luka,transfuse darah,penyakit defisiensi imun, demam berulang,berkeringat malam.
Tanda : Perubahan integritas kulit,luka perianal / abses, timbulnya nodul, pelebaran kelenjar limfe, menurunya kekuatan umum, tekanan umum.
-Seksualitas
Gejala : Riwayat berprilaku seks beresiko tinggi,menurunnya libido,penggunaan pil pencegah kehamilan.
Tanda : Kehamilan,herpes genetalia
- Interaksi Sosial
Gejala : Masalah yang ditimbulkan oleh diagnosis,isolasi,kesepian,adanya trauma AIDS
Tanda : Perubahan interaksi
- Penyuluhan / Pembelajaran
Gejala : Kegagalan dalam perawatan,prilaku seks beresiko tinggi,penyalahgunaan obat-obatan IV,merokok,alkoholik.
c. Pemeriksaan Diagnostik
a. Tes Laboratorium
Telah dikembangkan sejumlah tes diagnostic yang sebagian masih bersifat penelitian. Tes dan pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mendiagnosis Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan memantau perkembangan penyakit serta responnya terhadap terapi Human Immunodeficiency Virus (HIV)
1. Serologis
- Tes antibody serum
Skrining Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan ELISA. Hasil tes positif, tapi bukan merupakan diagnosa
- Tes blot western
Mengkonfirmasi diagnosa Human Immunodeficiency Virus (HIV)
- Sel T limfosit
Penurunan jumlah total
- Sel T4 helper
Indikator system imun (jumlah <200>
- T8 ( sel supresor sitopatik )
Rasio terbalik ( 2 : 1 ) atau lebih besar dari sel suppressor pada sel helper ( T8 ke T4 ) mengindikasikan supresi imun.
- P24 ( Protein pembungkus Human ImmunodeficiencyVirus (HIV ) )
Peningkatan nilai kuantitatif protein mengidentifikasi progresi infeksi
- Kadar Ig
Meningkat, terutama Ig A, Ig G, Ig M yang normal atau mendekati normal
- Reaksi rantai polimerase
Mendeteksi DNA virus dalam jumlah sedikit pada infeksi sel perifer monoseluler.
- Tes PHS
Pembungkus hepatitis B dan antibody, sifilis, CMV mungkin positif
2. Budaya
Histologis, pemeriksaan sitologis urine, darah, feces, cairan spina, luka, sputum, dan sekresi, untuk mengidentifikasi adanya infeksi : parasit, protozoa, jamur, bakteri, viral.
3. Neurologis
EEG, MRI, CT Scan otak, EMG (pemeriksaan saraf)
Tes Lainnya
Sinar X dada
Menyatakan perkembangan filtrasi interstisial dari PCP tahap lanjut atau adanya komplikasi lain
Tes Fungsi Pulmonal
Deteksi awal pneumonia interstisial
Skan Gallium
Ambilan difusi pulmonal terjadi pada PCP dan bentuk pneumonia lainnya.
Biopsis
Diagnosa lain dari sarcoma Kaposi
Brankoskopi / pencucian trakeobronkial
Dilakukan dengan biopsy pada waktu PCP ataupun dugaan kerusakan paru-paru
b. Tes Antibodi
Jika seseorang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka system imun akan bereaksi dengan memproduksi antibody terhadap virus tersebut. Antibody terbentuk dalam 3 – 12 minggu setelah infeksi, atau bisa sampai 6 – 12 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa orang yang terinfeksi awalnya tidak memperlihatkan hasil tes positif. Tapi antibody ternyata tidak efektif, kemampuan mendeteksi antibody Human Immunodeficiency Virus (HIV) dalam darah memungkinkan skrining produk darah dan memudahkan evaluasi diagnostic.
Pada tahun 1985 Food and Drug Administration (FDA) memberi lisensi tentang uji – kadar Human Immunodeficiency Virus (HIV) bagi semua pendonor darah atau plasma. Tes tersebut, yaitu :
1. Tes Enzym – Linked Immunosorbent Assay ( ELISA)
Mengidentifikasi antibody yang secara spesifik ditujukan kepada virus Human Immunodeficiency Virus (HIV). ELISA tidak menegakan diagnosa AIDS tapi hanya menunjukkan bahwa seseorang terinfeksi atau pernah terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). Orang yang dalam darahnya terdapat antibody Human Immunodeficiency Virus (HIV) disebut seropositif.
2. Western Blot Assay
Mengenali antibody Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan memastikan seropositifitas Human Immunodeficiency Virus (HIV)
3. Indirect Immunoflouresence
Pengganti pemeriksaan western blot untuk memastikan seropositifitas.
4. Radio Immuno Precipitation Assay ( RIPA )
Mendeteksi protein dari pada antibody.
c. Pelacakan Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Penentuan langsung ada dan aktivitasnya Human Immunodeficiency Virus (HIV) untuk melacak perjalanan penyakit dan responnya. Protein tersebut disebut protein virus p24, pemerikasaan p24 antigen capture assay sangat spesifik untuk HIV – 1. tapi kadar p24 pada penderita infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) sangat rendah, pasien dengantiter p24 punya kemungkinan lebih lanjut lebih besar dari menjadi AIDS.
Pemeriksaan ini digunakan dengan tes lainnya untuk mengevaluasi efek anti virus. Pemeriksaan kultur Human Immunodeficiency Virus (HIV) atau kultur plasma kuantitatif dan viremia plasma merupakan tes tambahan yang mengukur beban virus ( viral burden )
AIDS muncul setelah benteng pertahanan tubuh yaitu sistem kekebalan alamiah melawan bibit penyakit runtuh oleh virus HIV, dengan runtuhnya/hancurnya sel-sel limfosit T karena kekurangan sel T, maka penderita mudah sekali terserang infeksi dan kanker yang sederhana sekalipun, yang untuk orang normal tidak berarti. Jadi bukan AIDS nya sendiri yang menyebabkan kematian penderita, melainkan infeksi dan kanker yang dideritanya.
HIV biasanya ditularkan melalui hubungan seks dengan orang yang mengidap virus tersebut dan terdapat kontak langsung dengan darah atau produk darah dan cairan tubuh lainnya. Pada wanita virus mungkin masuk melalui luka atau lecet pada mulut rahim/vagina. Begitu pula virus memasuki aliran darah pria jika pada genitalnya ada luka/lecet. Hubungan seks melalui anus berisiko tinggi untuk terinfeksi, namun juga vaginal dan oral. HIV juga dapat ditularkan melalui kontak langsung darah dengan darah, seperti jarum suntik (pecandu obat narkotik suntikan), transfusi darah/produk darah dan ibu hamil ke bayinya saat melahirkan. Tidak ada bukti penularan melalui kontak sehari-hari seperti berjabat tangan, mencium, gelas bekas dipakai penderita, handuk atau melalui closet umum, karena virus ini sangat rapuh.
Masa inkubasi/masa laten sangat tergantung pada daya tahan tubuh masing-masing orang, rata-rata 5-10 tahun. Selama masa ini orang tidak memperlihatkan gejala-gejala, walaupun jumlah HIV semakin bertambah dan sel T4 semakin menururn. Semakin rendah jumlah sel T4, semakin rusak sistem kekebalan tubuh.
Pada waktu sistem kekebalan tubuh sudah dalam keadaan parah, seseorang yang mengidap HIV/AIDS akan mulai menampakkan gejala-gejala AIDS.
Langganan:
Postingan (Atom)